Aku
masih tak mengerti maksud permainan
takdir, bahkan sampai saat ini takdir masih seperti misteri bagiku. Aku paling
benci kata seandainya, namun sepertinya belakangan aku tak pernah bisa lepas
dari kata itu. Inilah resikoku, sebagai pemimpi yang sedag menanti keajaiban.
Sering sekali aku menggunakan kata itu.
Seandainya Revi tak membuat janji itu dan dia tak pernah
meninggalkan aku tanpa kepastian. Menunggu kehadiranya yang tak kunjung tiada
hentinya. Seandaainya aku tak pernah mengenal Andi dan tak pernah menerima
cintanya semua tak kan seperti ini.
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Andi. Hari yang
paling aku takuti kedatangannya, namun aku tak kuasa mencegahnya. Aku memang
pecundang. Aku tak berani mengambil resiko untuk mengutarakan isi hatiku.
Aku membutuhkanmu Revi, aku tak mapu tanpamu. Hanya kau
yang selalu bisa membaca semua isi hatiku. Aku tak mampu mengutarakannya.
Kaulah yang selama ini selalu mendukungku, meneriakan semua yang tak mampu
kuucapkan. Bagaimana mungkin aku bisa tanpamu. Jika sosokmu selalu menjadi
sandaranku. Bahkan tanpa hadirmu, kau tetap jadi sandaranku tuk menghadapi
dunia ini.
Vika membantuku
menata gaun pengantinku. Aku merasa semuanya sudah sempurna tapi dia
bersikeras jika gaunku kurang rapi. Ada sebutir mutiara yang tidak sesuai
tempatnya atau apalah. Ada saja alasan bagi dia menghabiskan waktu untuk
membenahi, entahlah aku tak mengerti apa yang dikatakan Vika. Untung ada Andi
yang datang dan menyelamatkanku dari Vika.
“Tulip,” itu suara Andi yang muncul diambang pintu kamar.
“K-kau... aku tak tahu kata apa yang pantas untuk disandingkan denganmu.” Aku
tahu Andi asing dengan kata-kata rayuan. Mau tak mau aku merasa tersanjung
dengan ucapannya.
“Bahkan kau sekalipun?” godaku.
Dia melangkah mendekat padaku. “Aku akan jadi pria paling
beruntung,” dia menatapku dari kaca di depanku. “Aku ingin mengenalkanmu dengan
sahabatku. Dia tak bisa di sini sampai akad kita. Jadi aku ingin mengenalkanmu
dengannya.”
Aku meghebuskan nafas sok jengkel. “Kau mau pamer ya?”
tuduhku kejam.
Dia senyum malu. “Kelihatan banget ya?” aku mengangguk.
“Kau pasti suka bertemu denganya. Apa kau tahu, reaksimu dengan dia sama saat
aku mengatakan dia harus bertemu denganmu dulu.”
“Oh ya?”
Dia membenarkan sebelum melangkah pergi keluar. “Aku akan
memanggil dia ke sini.”
Tak lama seletah Andi pergi Vika mulai usil lagi dengan
make-upku kali ini. Entahlah aku bingung sendiri dengan dia. Aku masih berdebat
dengan Vika saat Andi dan temannya datang. Aku cepat-cepat melepaskan diri dari
Vika, lalu berbalik menghadap Andi.
Aku membenci takdir mulai saat ini, rasanya aku tak ingin
berteman lagi dengan takdir. Permainan apa ini, ini menjengkelkan dan terlalu
meyakitkan untukku.
“Sayang, kenalkan ini temanku Revi, dia kepala polisi di Bandung.” Andi
memelukku dari belakang seakan menunjukan jika aku miliknya.
Tanpa kusadari, aku menolak pelukan Andi. Aku keluar dari pelukanya dengan
sangat kasar. Andi tak menyadari perubahanku. Dia kira aku cuma bercanda
seperti biasanya. Tapi kali ini lain. Aku seperti, hancur berkeping-keping.
Setelah lama aku menunggu kedatangannya. Sekarang dia datang tapi kenapa dengan
cara ini. Aku ingin dia menghentikan pernikahan ini. Membawaku pergi sejauh
mungkin. Bukannya malah datang sebagai sahabat Andi.
“Rev, kenalin ini Tulip. Cantikkan?” kata Andi pada Revi sambil menarikku
untuk mendekat pada Revi.
“Kau benar, dia memang sangat cantik,” katanya dengan tenang dan tulus.
“Kenalkan, aku Revi. Tadinya kupikir Andi cuma omong besar, ternyata kamu
memang sangat cantik. Aku harap pernikahan kalian lancar, dan kamu akan menjadi
wanita paling beruntung. Karena Andi sangat mencintaimu.”
Senyum Revi terasa sangat sakit buatku. Dia bersikap seolah kami tak pernah
saling mengenal sebelumnya. Aku mengangkat wajahku agar dapat menatap matanya.
Sosoknya yang tenang membuatku yakin dia sudah melupakanku. Dia tak
mengenaliku.
Tega Rev, kau.. Kau menghancurkanku
Rev, kau tahu itu? Kenapa kau baru muncul sekarang? Bagaimana mungkin kau
melupakanku semudah itu sementara aku terbelengguh akan cintamu?
Aku sangat ingin berteriak padanya. Tanpa bisa kucegah air mataku menetes
perlahan. Aku tak sanggup bergerak setelah itu. Revi hanya menatapku, mematung.
Ini semakin menyiksa seiring dengan berjalannya waktu.
“Cuma Tulip aja yang dikenalin?” sahut Vika.
“Maaf Vik, gue lupa kalo ada lo di sini,” kata Andi. “Revi, ini Vika
saudaraku sekaligus sahabat Tulip. Dia yang ngenali aku sama Tulip.” Kali ini
Andi bicara dengan Revi.
Revi memelingkan wajahnya, berganti menatap Vika. Mereka berjabat tangan. Vika
sedang berusaha menarik perhatian Revi, aku bisa melihat itu. Sepertinya Revi
tidak keberatan dengan itu. Sesekali Vika melontarkan komentar saat mereka
berdua bicara.
Aku merasa sakit melihat mereka berdua, jadi aku memalingkan wajahku dari
mereka semua. Aku seakan asing di dunia ini. Seakan aku tak berada di dunia
ini. Mungkin memang benar, ragaku memeng ada di dunia yang sama dengan Revi.
Namun pikiranku ada di masa laluku bersama dia. Dia yang sedang tertawa dengan
sahabatku. Tuhan tolong aku, aku ingin bisa bicara dengan Revi berdua saja. Aku
mohon.
Tuhan tahu semua isi hati setiap manusia. Sehingga doaku langsung terkabul.
Aku tak menyangka akan secepat ini. Melalui Andi doaku terkabul. “Bentar lagi
acara dimulai. Vik, bisa bantu aku bentar?” tanya Andi.
“Kau ini memang perusak kesenangan.” Gerutu Vika. “Aku tinggal dulu ya
Rev?”
Semua orang sudah pergi, sekarang hanya aku dan Revi dalam ruangan ini.
Sekarang malah aku yang tak mampu berkata apa-apa di depannya. Ada banyak
sekali pertanyaan dalam sanubari ini. Hanya saja aku tak tahu mana yang harus
kutanyakan terlebih dahulu.
Kami sama-sama terdiam. Rvi tak menatap mataku bahkan sekilaspun dia tak
mau menatapku. Kukira Revi tak nyaman dengan semua ini, namun sikapnya yang
tenang seakan mematahkan argumenku. “Rev, aku...” kata-kataku tersela oleh
suara HP Revi.
Apa yang akan aku lakukan setelah bicara dengan Revi? Menghentikan
pernikahan ini? Tidak, keluargaku akan menanggung malu jika aku kabur dengan
pernikahan ini. Aku bukan anak yang tega melalukan itu pada orang tuanya. Aku
tak akan sanggup melihat mama terluka. Aku menyayangi mamaku. Kebahagiannya
adalahyang utama bagiku. Mungkin ini memang takdirku. Aku tak masalah kehilangan
Revi, apalagi dia sudah lupa denganku. Buktinya dia tak mengenaliku. Buat apa
aku mengorbankan kebahagian semua orang demi orang bahkan orang tuaku untuk
orang yang tak pernah mengingatku. Bahkan menatap mataku pun tak mau. Aku harus
melupakan rencana bodohku untuk menghentikan pernikahan ini.
“Maaf,” dia permisi untuk mengangkat telpon. Samar-samar aku mendengar Revi
menyahut namun sangat lirih dan terkendali. Suara itu, suara orang yang aku
rindukan. Namun kenapa saat dia ada dihadapanku aku malah tak berkutik. Dia
berbalik menatapku. “Aku harus pergi, sampaikan salamku untuk Andi. Semoga
pernikahanmu bahagia. Tulip...”Dia tersenyum tipis sebelum melangkah menjauh
dariku. Aku menatap tiap langkah yang diambilnya untuk menjauh dariku. Seperti
de javu, dia pergi meniggalkanku di sini. Sendiri lagi.
Aku sanggup kehilangan sosoknya lagi. Aku tak perduli jika sekadar dia tak mengingatku. Mungkin dia lupa sekarang bukan berarti aku akan membiarka dia lupa tuk selamanya. Sekarang dia telah kembali. Tuhan membawa
dia kembali kepadaku. Tetap sebelum akad ini berlangsung. Sekarang apa aku akan
membiarkan dia pergi lagi. Tidak! Aku tak ingin kehilangan dialagi. Aku tak mau
Revi pergi, aku tak dapat hidup di dunia yang sama dengannya namun tanpa dia di
sampingku. Aku mecintainya.
Hanya itu yang aku butuhkan untuk menggerakkan kakiku untuk mengejar
langkahnya. “Revi,” panggilku. Dia sepertinya tak mendengarku. Dia sudah sampai
di pertengahan tangga. “Revi, tunggu Rev,” aku sudah tak perduli dengaan
tatapan semua orang yang menatapku dengan curiga. Tanpa sadar aku menabrak
beberapa orang yang sedang lalu lalang di lorong. Aku tidak kenal semua orang
itu, yang aku tahu aku akan kehilangan Revi jika aku tak menghentikan langkah
kekinya yang hendak membawanya pergi dariku.
Di muka tangga ku panggil dia lagi, kali ini lebih keras sampai semua orang
menghentikan aktivitasnya untuk mengetahui apa yang terjadi.“Revi!!!” kali ini
Revi mendengar teriakanku tepat saat diasampai di depan pintu keluar. “Tunggu!”
aku berlari ke arahnya. Aku memag tak berani menghentikan pernikahan ini. Bukan
berarti aku akan diam saja.
“Tulip, awasss!!!” teriakan Revi memang kudengar dengan jelas. Ada
kecemasan disuaranya. Jelas sekali dia tadi berpura-pura. Mustahil dia
mencemaskanku jika dia tak kenal denganku. Sekarang aku bisa tenang, biar semua
berjalan seperti yang seharusnya. Dengan semua arah yang sudah kurubah.
Penantianku, kuharap tak sia-sia. Sebab kau sudah di sini, di sisiku. Revi...
Rasanya cepat sekali waktu bergulir. Itu bukan berarti menjadi halanganku untuk menyerah atasmu. Karena rasaku ini tak akan mati meski kau diam dan ingkari. Hanya kaulah yang XXX