Dulu aku tak mengerti, jika janji yang kita buat akan terasa sangat mengikat masa depan. seandainya aku tahu akan hal itu aku tak akan membuat janji ini. meski begitu aku tak menyesal membuat janji dengannya. sebab sampai saat ini aku masih menggenggamnya. Mungkin sampai raga ini terpisah dari jiwa, aku akan tetap memegang teguh janji itu.
"Janji!!" kudengar diriku meminta kepastian darinya.
"Aku janji, nanti aku akan kembali tuk menjemputmu di sini." kata anak
laki-laki kecil itu. sejak masa itu aku percaya dan selalu menunggunya
di bawah langit yang masih sama ini.
Perpisahan SD, itulah saat awal dari perpisahanku dengan Revi. Gara-gara ingin mengikuti kemauan orang tua masing-masing kami harus berpisah. Meskipun kami berpisah saat ini, aku masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya dijenjang pendidikan SMA. Harapan itu hilang sudah, saat aku tahu dia berada terlalu jauh. Sehingga aku tak kuasa mengejarnya.
Selama masa SMA aku hanya pernah bertemu dengannya sekali. Banyak sekali hal yang ingin kubicarakan denganya. namun keadaan tak memberiku kesempatan tuk bicara. Seandinya bisa, aku ingin menyita waktunya agar dia tak pergi begitu saja tanpa tahu kehadiranku di sisinya.
Sebelas tahun berlalu sejak dia berpisah dariku. Banyak sekali hal yang kualui tanpanya. Aku sangat merindukan sosoknya hadir di sampingku. Seandainya Tuhan berkenan, aku ingin bertemu dengannya. Aku memang masih belum tahu apa yang akan aku lakukan jika dia kembali nanti. Apa yang harus aku katakan pun aku belum menyusun kalimatnya. Aku punya banyak sekali daftar pertanyaan yang telah aku susun selama dia tak berada di sampingku.
Aku juga sudah menyiapkan jawaban apa saja yang akan aku berikan jika dia bertanya tentang beberapa hal. Namun yang paling aku takutkan adalah jika dia bertanya: Apa aku sudah punya pacar?
Aku masih memegang janjiku, untuk selalu menunggunya kembali di bawah langit ini. Namun aku telah mengkhianatinya dengan menjadi pacar cowok lain.
Aku tak ingin mencari pembelaan karena aku memang telah berkhianat. Bukan hanya pada Revi (laki-laki kecil yang selama ini selalu kutunggu) tapi juga pada Andi pacarku sekarang ini. Sebab selama dua tahun bersamanya aku tak pernah jujur padanya. Jika perasaanku selama ini bukan untuknya. Meski begitu, aku sangat menyayanginya. Andi adalah cowok yang baik, pengertian dan selalu ada di sampingku. Dia sahabatku dan aku tak tega menolaknya saat dia menyatakan perasaannya dulu.
Sekarang aku mulai merasa takut. Dia mulai membicarakan tentang menjalin hubungan yang lebih serius. Orang tuaku dan sahabat-sahabatku sangat senang akan kabar ini. Kecuali aku.
Saat semua orang heboh membicarakan tanggal pernikahanku, aku malah menyendiri di tempat di mana Revi telah berjanji untuk menjemputku kembali. Apa Revi bisa merasakan aku menunggunya sendiri di sini? Kapan Revi akan kembali?
Di tengah kegundahanku itu, aku mendengar derap langkah mulai mendekat. Perlahan senyumku mulai datang. Mungkinkah hari ini tiba. Tuhan menuntun langkahnya kembali padaku.
"Hey, apa yang sedang kamu lakukan sendirian di sini?" pupus sudah harapanku. Suara itu bukan suara Revi melainkan suara Andi.
"A-aku... aku hanya ....."
"Apa?" tuntutnya sambil memasang wajah cemberut yang dibuat-buat. "Jangan bilang kau sedangmenyusun rencana untuk kabur dari pernikahan kita nanti"
"Itulah yang sedang kulakukan," kataku dengan nada bercanda yang sebenarnya aku serius dengan itu. Aku memang sedang mencari cara untuk menghindari pernikahan ini. Setidaknya sampai Revi kembali. Aku ingin menunggunya. Menunggu Reviku kembali padakku.
"Bagaimana caranya?" tanya Andi.
"Mungkin aku akan meminta pria lain untuk mejemputku, menghentikanmu saat akad sedang berlangsung, membuat heboh perkawinan kita, lalu dia akan membawaku pergi bersamanya...." aku menatap Andi "... Bagaimana menurutmu, romanis bukan?"
"Aku masih tak tahu dimana letak romantisnya?"
"Kau ini...." aku memukul lengannya.
Sementara aku memukulnya, dia mengadu. Begitu aku puas aku kembali menggenggam berkonsentrasi pada notebookku. Tatapannya jatuh pada nootebookku. "Apa yang sedang kau tulis?" tanyanya. "Apa ini masih Trilogi novel pertamamu?"
"Iya, aku masih binggung dengan akhirnya. Andi."
"Iya?"
"Jika nanti aku tak bisa membuat akhir dari kisah ini, tolong lanjutkan kisah ini. Aku tak yakin bisa melulis akhir dari cerita ini."
"Aku hanya tak sanggup saja membayangkan akhir dari kisah ini."
"Baiklah..."
Dia menjawab pertanyaanku dengan sangat ringan. Semua itu karena dia belum tahu, jika semua yang ku tulis dalam novel itu.... semuanya nyata.
"Apa kau sudah tahu berapa tanggal yang teah mereka tentukan untuk pernikahan kita?"
Topik inilah yang sejak tadi ingin ku hindari, jika sudah begini aku harus bagaimana?? Hanya satu cara yang bisa kulakukan. Menggelengkan kepala. karena aku memang tak tahu dan aku tak ingin tahu berapa sisa waktu yang kupunya untuk menunggu Revi menepati janjinya.
"Tanggal 15 Juni... tepatnya dua bulan lagi!!!"
"Dua bulan lagi ya..."
"Hey, ada apa??" tanyanya. "Apa terlalu lama. Seharusnya tadi aku minta dimajukan saja. aku tahu ini memang terlalu lama bagi kita. Memangnya sesulit itu merancang pernikahan."
Tinggal dua bulan kurang 5 hari, 3 jam, 35 menit, dan 20 detik yang tersisa kini.
Itulah sisa waktu yang kau punya untuk menepati janjimu. Revi.
***
to be continue.....