Hari menjelang pernikahanku semakin dekat, namun bukanya semakin senang aku malah semakin gundah. Rasanya ada yang tidak tepat, tapi aku binggung harus berbuat apa... aku tak ingin membuta orang tuaku kecewa jika aku nekat mengambil keputusan tuk lari dari pernikahan ini.
"Apa yang sedang calon pengantin lakukan di samping jendela butik?" tanya pegawai butik tempat di mana gaun pengantinku dibuat. Pegawai di sini sudah tak asing lagi denganku, sebab pemilik butik ini adalah sahabatku sendiri.
"Hanya ingin melamun saja."
"Mbak Tulip, kemarin saya membaca novel mbak yang baru... kisahnya sangat bagus," katanya sambil mengacungkan jempol.
"Bagian mana yang paling kamu suka?" aku sadar interaksi dengan pembaca itu juga penting dalam mempromosikan novel.
"Aku paling suka saat Revi masuk ke dalam tong sampah waktu bertengkar dengan Ai. sumpah iu luchu banget mbak.Tapi yang paling bikin iri adalah saat Ai telat Revi ikutan telat. Pas pulang pun juga gitu... kaya' ada konntak batin gitu mbak... Kaya' mbak tahu ndiri Ai kan selalu tepat waktu, jadi kesannya itu gimana...."
"Aku kira bagian paling romantis dan mengharukan saat Revi ngucapin janjinya," sahut Vika si pemilik butik yang tak lain adalah sahabatku.
"Vic, udah lama..."
"Baru aja," vika memberi isyarat pada pegawainya agar meninggalkan kami berdua. "Kisah itu...?"
"Apa?" tanyaku sambil membuka-buka buku dairyku.
"Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ada yang aneh dengan kisah itu..."
"Maksudmu???"
"Novelmu itu seperti hidup. Aku merasa itu kisahmu. Tapi itu tak mungkinkan?" dia memberi tatapan tajam padaku. "Kisahmu dan Andi kan tidak seperti itu. Tapi...."
"Apalagi.....?"
"Aku merasaa sosok Ai dalam cerita itu adalah kau. Namun aku yakin jika sosok Revi itu bukan Andi." Vika menarik tanganku yang sedang menggenggam erat sanpul dairyku yang sedang terbuka. "Ada sesuatu yang membuatmu gundah. Entah apa, aku belum tahu... tapi aku yakin itu ada hubungannya dengan kisah dalam novelmu."
Aku ingin bercerita padamu Vika, tapi jika aku mengingat kau adalah saudara Andi semua cerita itu tak ingin ku ungkapkan. "Kau ini ada-ada saja."
"Dalam novel itu, aku merasa kau menjadi Tulip yang sebenarnya. Bermain, tertawa, bercanda dan jatuh cinta.... Jika memikirkan novel itu, aku membayangkan mungkin seperti itulah seharusnya jika kau sedang jatuh cinta. Bukanya datar seperti ini."
Aku memang telah berhasil mebohongi banyak orang tapi dalam novelku, aku telah berhasil menulis semua kebenaran yang dianggap kebohongan. Ironisnya semua kebohongan itu dianggap kebenaran karena ia nyata. Padahal tak semua kebenaran itu harus terlihat mata.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar