Selembar saputangan
Bagian 1
Mukjizat telah menuntunku hingga aku sanggup bertahan
sampai dekat kostku. Walaupun tak sampai di depan kamar aku telah rubuh
terlebih dahulu.
“Mbak... Mbak...,” kudengar suara penuh cemas anak-anak
SMK.
“Mbak, minum dulu mbak..,” aku mengikuti petunjuk dari
suara lain. Duniaku masih terasa berputar. Ada yang aneh dengan kehidupanku.
Semuanya selalu berulang, tak banyak perubahan. Meski di bidang lain aku selalu
melaju dengan cepat. Tapi semuanya terasa sama. Hambar.
“Udah, aku bisa
sendiri.” Aku memaksa tubuh ini tuk mematuhi perintahku. Aku harus bisa
berdiri. Aku sanggup berdiri di atas kakiku sendiri. Aku kuat, pasti kuat dan
harus kuat. “Terima kasih, maaf merepotin kalian.” Aku melihat sekeliling, aku
harus ke kamar mandi. Aku butuh sendiri. Aku benci harus jadi tontonan semua
orang.
“Aku temani ya mbak?”
“Nggak perlu An... aku
masih bisa bertahan kok,” aku tersenyum tipis. Mulai mengambil langkah ringan.
Insiden tadi sungguh memalukan baru kali ini aku pingsan di hadapan banyak
orang. Mungkin sebaiknya aku lebih menyibukkan diri dengan tugas-tugas kuliah.
Dengan begitu aku kan tidak akan pernah memikirkan farid lagi.
“Lo ngapain di sini sendirian?” tanya Kian teman sekelasku. “Inikan udah
malem?”
“Lo sendiri ngapain kok masih di area kampus?”
“Eh, ini anak. Ditanya malah balik tanya,” dia malah duduk di sampingku.
“Gue baru aja selesai ngumpulin tugas kemarin.”
“Oh, lo baru ngumpulin,” aku mengamati Mahasiswa yang baru keluar area
parkir.
“Wah, bahaya nih anak. Ditanya malah bengong lagi. Lo ndengerin gue nggak
sih?”
“Eh iya, lo tanya apa barusan?” tanyaku kelagepan. Dia menatapku penuh
selidik, cepat-cepat aku ngalihin pandangan. Bisa gawat nih kalau Kian sampai
tahu masalahku. “Gue suntuk aja di kost. Makanya gue keluar, itung-itung
refresing.”
“Refresing kok di kampus. Lo nggak salah tujuan tuh!”
“Refresing gratis kan cuma di sini doang. Lo tahu ndirikan anak kost itu
carinya ya yang gratisan, biasa irit. Hehe.”
“Dasar nggak modal banget sih lo.”
“Biarin!” hanya ini yang bisa kulakukan sekarang. Aku tidak bisa cerita
masalahku pada semua orang. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
Kasihan Kian kalau aku cerita pada dia aku malah menambah beban dia nantinya.
“Eh, lo nggak mau pulang ya? Ini kan udah malem.” Kataku sambil menatap jam
tanganku.
“Maulah. Pake’ banget malahan. Tapi aklo gue pulang lo ntar sama siapa? Gue
nggak tegalah kalo ninggal lo sendirian di sini,” katanya dengan gayanya yang
sok perhatian itu.
“Udah deh, kaya baru kenal gue aja. Mending lo balik sekarang, kasihan
nyokap lo. Pasti udah nyariin.” Aku tahu banget, setiap kali Kian pulang telat
pasti deh rumahnya pada heboh. Heran, cowok kok sampek segitunya ya???
“Bentar, gue cariin temen buat lo,” katanya sambil berlari menuju kampus.
Tuh anak ada-ada saja. Udah dibilangin kalau aku berani di sini sendirian
dia malah heboh cariin temen. Padahal aku sendirian di kampus kan sudah biasa.
Malah ini yang aku butuhkan saat ini. Aku butuh ketenangan maka dari itu aku ke
sini. Berharap kampus sudah sepi jadi aku bisa merasakan ketenangan. Saat ini,
hanya itu yang aku butuhkan untuk bertahan.
Aku mulai mengingat kembali kenanganku bersama Farid. Aku sudah mengenalnya
sejak aku masih di sekolah dasar. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya.
Dialah satu-satunya orang yang menjadi sandaranku selama ini. Suka duka kami
selalu jalani bersama. Persahabatan itu sangat indah. Aku selalu jadi nomor
satu dalam hidupnya. Bahkan saat dia berpacaran dengan cewek paling populer di
sekolah dulu, Farid tetap menomor satukan persahabatan kami.
Lucunya saat pacarnya minta antar di bandara, karena mau pergi ke rumah
neneknya, bukannya nganter pacarnya dia malah menemani aku ke dokter. Kebetulan
saat itu aku sedang sakit deman, berhubung orang tuaku tidak ada di rumah, dia
jadi orang yang paling heboh merawatku sampai aku sembuh.
Alhasil aku sembuh. Tetapi dia harus menerima konsekuensi diputusin sama
pacarnya. Kalau diinget-inget kasihan juga pacarnya saat itu.
Mungkin aku memang kejam tapi saat itu aku bersyukur banget Farid putus
dengan boneka porselan itu. Kenapa aku bilang demikian? Semua ini karena ucapan
Livia sendiri. Saat itu hari jadi mereka ke satu, waktu itu tanpa sengaja aku
mendengar Livia marah dengan sikap Farid yang suka cuek padanya. Sudah berkali-kali
Livia protes tapi tak ada tanggapan serius dari Farid.Karena terlalu marah atau
apa aku tak tahu, Livia mengatakan sesuatu tentag persahabatanku dan Farid yang
dianggap menganggunya. Gara-gara itu cara pandang Farid pada Livia mulai
berubah.
Berangsur aku menjauh dari Farid atas permintaan Livia. Mungkin saat itu,
bukan karena Livia saja aku menjaga jarak dari Farid. Sadar diri, itu juga
faktor aku menjaga jarak dari Farid. Farid itu bagi bintang yang terlalu
sempurna untukku. Aku hanya anak yatim yang kebetulan mendapat bea siswa
sehingga aku dapat sekolah di tempat yang sama dengan Farid. Aku sendiri bisa
mengenal Farid karena sebuah kebetulan. Dia baru pindah rumah dan nyasar saat
sedang main di taman dulu. Ketakutan karena berada di tempat asing membuatnya
menangis. Padahal saat itu masih siang hari, matahari sedang terik-teriknya dia
malah menangis ketakutan.
Kasihan melihat dia, kakakku mengajakku menghampiri dia. “Adek kenapa?”
tanya Kakakku dengan suara yang sanhgat lembut. Mungkin karena suaranya yang
indah itu Farid mau menatap kakakku dengan malu-malu bercampur penasaran.
“A-aku mau pulang,” katanya dengan suara tercekat.
“Rumah adek di mana?” tanya Kakakku sambil mengusap kepala Farid. Menyadari
kebinggungan di wajah munyil Farid mungkin sudah membuat kakakku mendapat
kesimpulan akan kejadian ini tanpa perlu bertanya pada yang bersangkutan.
Maklumlah kakakku adalah psikolog. Calon maksudku. Memang saat peristiwa itu
terjadi usia kakakku baru 15 tahun dan kakakku baru bilang jika dia kuliah nanti
dia ingin menjadi psikolog terbaik Indonesia.
Sejak peristiwa itu aku mulai sering bermain dengan Farid. Meskipun kami sangat
bertolak belakang jika masalah materi, namun itu tak menjadi masalah dalam
persahabatan kami. Malah perbedaan
dianatara kami itulah yang membuat persahabatan kami penuh dengan
keseruan. Kami seperti dua sisi yang berbeda namun saling melengkapi satu sama
lain.
Dari sekolah dasar aku memang selalu bersama dia, namun sejak SMA kami
berpisah sekolah namun itu tak jadi halangan bagi persahabatan kami.
Kenyataannya, dia tetap menjadi malaikat penolongku. Dialah satu-satunya orang
yang selalu siap siaga untuk menjagaku.
Sebetulnya bukan aku yang mengikuti sekolah Farid melainkan dia yang selalu
mengikutiku. Aku tak tahu alasannya sampai sekarang. Seandainya saja orang tua
Farid mau lebih memberi kelonggaran bagi Farid untuk menentukan jalan hidupnya
mungkin saat ini Farid masih bersamaku. Kulia di kampus yang sama denganku.
Bukannya malah pergi menjauh dari hidupku seperti sekarang ini.
“Hey!!!” seru Kian yang muncul tiba-tiba di sampingku. “Lo kok malah
bengong lagi?”
Bukannya aku bengong melihat Kian tapi mahluk yang sekarang berdiri di
samping Kian yang membuatku bengong. Tumben banget nih orang muncul ke
pemukaan. Biasanya dia kan jarang banget nongol di depan orang. Keseringan juga
ngilang entah kemana.
“Gue minta Rian nemenin lo,” kata Kian. “Bukan apa-apa sih! Gue yakin lo
bisa jaga diri,tapi tetep aja gue khawatirkan kalo lo kenapa-kenapa, yah buat
jaga-jaga doang.”
Aku hanya bisa menatap Kian dengan sorot tidak percaya dengan apa yang
diperbuat. Gimana bisa ini anak minta Rian nemenin aku. Bisa mati gaya aku di
depan dia. Bukan karena dia terlalu keren atau apa, hanya saja ini orang kan
cuek banget bahkan bisa dikatagorikan dingin banget dengan sekitar. Kalau aku
ditemenin dia bisa ada gunung es di Indonesia. Sementara aku lagi ingin
sendirian ditemenin orang yang pendiam alias si manusia es ini.
“Okey, gue harus pulang dulu,” katanya sambil membalas tatapanku. Setelah
itu dia mengalihkan pandangannya pada Rian. “Gue titip sobat gue ya?” lalu Kian
membisikkan sesuatu pada Rian sebelum melangkan menjauh dari kami.
Hampir tiga puluh menit penuh kami saling diam. Tak sepatah kata pun keluar
dari mulutku maupun dia. Berhubung dia tidak mau mencari bahan untuk dibahas
dan aku sendiri sedang malas bicara jadi diam dalam hening, itulah yang
terjadi.
Aku mengamati gelagat Rian yang sepertinya sedang merasa tak nyaman pada
menit-menit terakhir. Sambil membenahkan tasnya, dia akhirnya mau menatapku
meski dengan sedikit segan di matanya. “Mau cari tempat lain nggak?” tanyanya
pada akhirnya.
Aku hanya dapat menatapnya. Ini kali pertama aku mendengar suaranya dalam
jarak sedekat ini. Maklumlah, biasanya aku cuma dengar dia bicara dari jarak
jauh banget. Hmmm, benerlah dari jarak jauh, orang Rian bicaranya saja sama
orang lain. Berhubung aku berada di satu ruang dengan dia samar-samar aku
mendengarkan suaranya. Emang dasarnya aku yang budek atau dia yang suaranya
terlalu lirih. Sehinga aku tidak bisa mendengar suaranya sama sekali.
Akhibatnya sekarang aku dibuat bingung saat
pertama kali mendengar suaranya. Tanpa banyak kata dia sudah mengambil langkah
meninggalkan parkiran. Padahal kan belum tentu aku mau mengikuti dia. Dasar
kepedean banget sih ini orang.
Meski bilang begitu pada akhirnya aku mengikuti dia juga. Selidik demi
selidik ternyata dia mengajakku ke perpustakaan. Di perpustakaan sudah menunggu
Laila anak kelas sebelah yang desas desusnya, Laila ini suka banget sama Rian.
Melihat penampilan Laila yang selalu modis dan gaul membuatku berpikir
ulang tentang kebenaran desas desus tersebut. Apalagi jika sekarang aku melihat
Laila berdampingan dengan Rian. Kok kelihatannya kurang imbang ya?
Rian itu terlalu dingin buat naklukin cewek semodis dan segaul Laila.
Lagian apa sih yang dilihat Laila kok bisa-bisanya cewek secantik dia bisa suka
sama Rian yang serba biasa itu. Ehmmm, lagian aku kok kepo banget sihsama
urusan percintaan Rian dan Laila. Belum tentu juga kan kalau mereka pacaran,
kalaupun mereka pacaran kampus pasti udah dibuat heboh dengan berita ini.
Secara ya, Laila itukan termasuk cewek poluler di kampus.
Emang dasar Rian itu aneh atau gimana ya? Katanya tadi mau memenin aku, eh
di sini aku malah dicuekin abis. Rian sih enak dari tadi dia sibuk entah bahas
apa dengan Laila, sementara aku??? Uh... aku merasa jadi obat nyamuknya mereka
berdua di sini. Nasib, nasib. Mau nenangin diri malah dibuat emosi dengan
kelakuan ini orang. Awas saja kalau aku ketemu Kian besok, aku labrak langsung
tuh orang. Sahabat macam apa tuh yang tega banget mejerumuskan sahabatnya
sendiri.
Sadar akan mudku yang makin bete atau gimana tiba-tiba aja Rian melirik ke
arahku. Udah males banget sama tuh orang, aku nggak sudi bertatapan mata dengan
dia. Alhasih aku menoleh saat dia sedang mengamatiku.
Hanya firasatku saja atau Laila juga ikut-ikutan mengamati tingkahku.
Kurasa Laila bukannya mengamati aku melainkan Revi. Kenyataannya saat Rian
mengalihkan kembali perhatiannya pada buku yang dipegangnya dia tidak mengamatiku
lagi.
Bunyi Hp Laila membuatku tersentak dari lamunan. Aku melihat ke arah
datangnya suara. Dari gelagat Laila sepertinya itu bukan pertanda baik. Buat
Laila pastinya.
“Aku harus balik dulu, lagian ini sudah malam,” tanpa sadar aku melirik jam
tanganku sendiri. Pukul delapan, sepertinya Laila sedang dalam masa karantina.
Tidak biasanya jam delapan dia bilang sudah malam. Bagi cewek kaya Laila jam
delapan itu masih sore. Aku bisa bilang begini karena Kian pernah mengungkit
masalah jam pulang di rumahnya. Tanpa sadar dia juga menyebut jam malam bagi
Laila dan teman-temannya yang lain. “K-kamu...” Laila melihatku sebentar
sebelum melanjutkan. “Nggak jadi, besok aja deh. bey ian, balik dulu ya Via.”
“Okey, hati-hati,” kata singkat dari Rian membuat wajah Laila tersipu.
Mungkin bukan karena kata singkat ini tapi perhatian yang ditunjukkan saat
kata-kata singkat itu terucap.
Aku bisa mengerti perasaan Laila saat ini. Karena aku pernah juga merasakan
hal yang sama dengan yang dirasakan Laila untuk Rian. Kata sesingkat apapun
akan lebih terasa berharharga tergantung siapa yang mengucapkannya dan
perhatian sekecil apapun akan mengalahkan seluruh perhatian dunia jika orang
yang kita sanyangilah yang memperhatikan kita.
Farid... seandainya saja kamu di
sini sekarang.
Tanpa aku kehendaki air mataku menetes saat aku teringat akan perhatian
Farid saat aku sakit dulu. Dia yang sedang dalam perjalanan ke bandara harus
putar balik ke rumahku karea mendengar aku sedang demam dan flu saat sedang
berbicara lewat telfon dengan dia.
Dia tahu aku pasti sendirian, ibuku tidak ada di rumah dan kakakku sedang
bekerja di luar kota. Mungkin karena itu Farid putar balik, dia takut aku
pingsan atau apa gitu tanpa ada seorangpun yang menemani. Jadi dia kembali
padaku dengan berbagai obat dan makanan. Mulai dari bubur, buah bahkan air yang
pastinya sudah tersedia di rumahku dia malah beli lagi saat dalam perjalana ke
rumahku saat itu. Tak bisa dipungkiri semua yang dilakukan oleh dia membuatku
bahagia.
Sampai sekarang aku belum tahu, apakah dia menyadari pesanyang tersirah di
mataku? Aku meragukannya. Aku tahu Farid itu, perhatian banget dengan semua
temannya tapi dia itu kurang peka dengan keadaan di sekitarnya.
“Kamu mau balik sekarang?” pertanyaan Rian membuyarkan lamuananku. Perlahan
aku menatap Rian meski aku masih menghindari kontak mata dengannya. “Perpus
bentar lagi tutup. Mending kita cari tempat lain,” dia membereskan beberapa
barangnya tanpa menatapku sedikitpun saat bicara. Gila juga nih orang.
Tanpa basa-basi aku berdiri, “Aku mau balik aja.”
Saat aku hendak melangkah dia malah menghentikan langkahku. “Aku anterin.”
Terkejut itu wajar. Seorang Rian si manusia Es mau nganterin aku. Ini bisa
bikin heboh satu kampus kalau ada mahasiswa lain yang tahu. Apalagi kalau kabar
ini terdengar Laila, bisa digantung aku dengan temen-teme Laila. Menyadari akan
semua resiko itu membuatku cepat-cepat mengambil keputusan. “Nggak usah, aku
bisa sendiri,” kataku cepat.
“Nggak baik perempuan pulang sediri jam segini,” dia mengamati penampilanku.
“Dengan mata bengkak gitu nggak mungkin juga kan, aku tega biarin kamu pulang
sendiri kalo ada apa-apa namaku bisa ikut-ikut disebutkan.”
Ini orang nggak ikhlas banget kaya’nya nganterin aku. Aplagi mendengar
alasannya itu mebuatku ingin protes. Emang dia kira apa yang akan terjadi jika
aku pulang sendiri jam segini. Lagian kalaupun ada apa-apa di jalan aku juga
tidak yakin dia bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk melindungiku. Dari
penampilannya saja aku sudah tak yakin.
Mengingat suasana di gang depan yang selalu ramai dengan para pengangguran
membuatku merinding juga sih. Apalagi aku habis pingsan tadi. Lebih baik aku
terima saja tawaraan dari Rian, buat jaga-jaga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar