Jumat, 07 Maret 2014

selembar saputangan mozaik2



Selembar saputangan

Bagian 2

            Selama perjalanan keheningan tak bisa dihindarkan. Seperti yang sudah-sudah aku hanya melangkah mengikuti kaki ini melangkah. Tanpa perduli akan keadaan sekitar. Mungkin Rian akan menganggapku cewek aneh. Tapi kali ini aku tidak perduli dengan presepsi orang lain. Apalagi orang asing kaya Rian. Perdui banget pada pendapatnya. Yang terpenting sekarang aku mau tenang dulu. Aku butuh ketenangan melebihi siapapun. Sepertinya Rian tahu itu.
            Sejak awal dia memang tak berusaha mengajakku bicara meski hanya sepatah kata. Dia sepertinya juga tergelam dalam dunianya sendiri. Baguslah, dengan begitu semua terasa lebih ringan bagiku. Aku bisa memikirkan Farid tanpa harus merasa segan dengan Rian.
            “Kostmu masih jauh?” tanya Rian.
            “Udah deket kok Rid,” jawabku sambil melamun. Langkah Rian yang tiba-tiba terhenti membuatku ikut menghentikan langkahku.
            Hanya firasatku atau memang tatapan Rian memang berbahaya. Sebelum aku jatuh karena tatapan mata itu, aku mengalihkan mata secepat yang aku bisa. Dia masih mengamatiku dengan teliti. “Siapa yang telah melukaimu?” tanyanya dengan sangat lembut, sesuatu yang asing bagiku mendengar orang asing ini memperlakukanku seakan-akan kami sudah mengenal dengan sangat baik.
            Aku masih diam. Tidak sepatah katapun keluar, aku tak bisa menceritakan masalahku pada Rian. Dia orang asing dalam hidupku. Terlepas dari dia juga teman sekelasku. Tetap saja dia bukan salah satu orang yang bisa masuk daftar orang terdekat dalam hidupku.
            “K-kamu bisa bilang sama aku. Aku mungkin tak bisa melakukan banyak hal untuk membantu masalahmu,” dia lalu menatap tepat pada mataku yang sudah berkaca-kaca mendengar ucapannya. “Apalagi berjanji masalahmu akan terselesaikan. Tapi aku bisa menjadi pendengar yang baik dan aku jamin kamu pasti akan merasa lebih baik saat kamu sudah menumpahkan semua isi hatimu.”
            Kali ini aku berhenti di tempat. Bagaimana bisa orang asing ini mengatakan sesuatu yang membuat hatiku bergetar? Itu hanya kalimat tapi perhatian dan keperdulian dalam kalimat itu membuatku merasa istimewa.
            Sadarkah Rian, dia sudah menembus batas penghalangku. Dia membuat semua usahaku untuk menahan emosiku sia-sia belaka. Mungkin tujuan ucapannya baik, sayangnya untuk saat ini aku tidak membutuhkan kalimat seperti itu. Saat ini aku tak membutuhkan belas kasih orang lain. Aku paling tak suka dikasihani, seakan aku makhluk paling tak berdaya di dunia ini.
            “Masalahku adalah urusanku,” ucapku sinis. “Jangan ikut campur!” kataku sambil berlalu.
            “Aku tak bermaksud unt...”
            “Kostku di seberang jalan ini,” kataku dingin. “Trim’s udah nganterin.” Aku pun meninggalkan dia tanpa berbalik sedikitpun.
            Aku dapat membanyangkan kebingungan yang menghiasi raut wajah Rian gara-gara ulahku yang aneh semalaman ini. Biarkanlah, nanti dia juga baik sendiri. Penting sekarang aku istirahat saja.
            Aku mengganti pakaianku dengan baju tidur. Kaos panjang yang tadi baru aku gunakan aku singkirkan. Anak-anak SMK udah pada heboh di depan pintu saat aku kembali masuk kamar. Kunyalakan laptop untuk mulai mengerjakan tugas kuliah.
            Pada hari biasa aku yang bisa mengerjakan makalah dalam waktu tiga jam selesai, kali ini aku mebutuhkan waktu tiga jam hanya untuk mengerjakan bab 1, itu pun benum selesai. Dawat kalau ini terus berkelanjutan. Aku harus cari ide agar aku bisa cepet-cepet move on. Mustahil untuk menghapus rasa yang sudah ada sejak SD, itu sudah pasti.
            “Mbak Via, cowok di depan tadi siapa?” tanya Anni dengan penuh semangat. “Dia pacar Mbak Via ya? Keren juga Mbak,” tambahnya.
            “Gue kira lo pacaran ama...?” sambung Lolita.
Lolita itu temen kostku, dia cantik, tinggi, langsing dan sopan. Kekurangan fisiknya hanya kulitnya yang hitam. Dalam kost ini hanya Lolita anak kost perempuan sekaligus temen sekelas Laila. Meskipun dia tak begitu suka jika namanya disambung-sambungin dengan nama Laila. Katanya sih, meski sekelas mereka tidak akan pernah jadi temen.
            Sudah berkali-kali Lolita menegaskan hal ini tetap saja dia belum mau menceritakan alasan dia ilfiil banget sama Laila. Padahal Laila itu kan cewek baik, menurutku jika menilik lagi interaksi pertama ku dengannya tadi. Selain baik dia juga cantik plus tenar. Ibarat kata nih, Laila seperti hadiah undian yang dapatnya bonus yang besarnya tidak tanggung.
            Seandainya Lolita tahu, tadi aku habis dari perpustakaan bareng Laila, semeja pula, aku bisa disuruh mandi kembang tujuh rupa. Mending diem saja lah. Kalaupun nantinya Lolita tahu dari orang lain dia juga tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ini kan sudah terlanjur terjadi.
            “Bukan salah satu di antara mereka berdua,” aku mengambil pulpen di mejaku. “Tadi yang anni lihat itu temen sekelas gue. Sedangkan yang lo kira pacar gue itu Lit, itu sahabat gue doang kok. Sahabat terbaik, mengerti?”
            Mereka berdua bertukar pandang. “Memang siapa yang lo maksud Ann?” tanya Lita kurang puas dengan jawabanku.
            Anni menyila kakinya. Mencari posisi yang lebih nyaman untuk duduk. “Aku nggak tahu Mbak nama cowo’ itu. Yang pasti ini pertama kalinya aku lihat cowo’ itu.”
            “Dan itu akan jadi yang terakhir,” Sahutku.
            “Gue ragu,” balas Lita sebelum kembali berfokus pada Anni. “Ann, cowo’ yang nganterin Mbak Via kaya’ gimana tampangnya?” tanya Lita penuh semangat.
            Anni meletakkan tangannya pada dagu dan mulai mutar ulang ingatannya akan kejadian tadi. “Cowo’ itu tingginya rata-rata cowo’ pada umumnya. Lalu ....”
            “Lebih tinggi  mana dengan cowo’ yang biasanya datang ke sini?” sela Lita.
            Anni berpikir lagi akan perbandingan tinggi kedua sosok itu dalam kepalanya. “Hmmm, mungkin hampir sama,” lalu dia mulai mereka-reka lagi. “Nggak deh, kaya’nya tinggian cowo’ yang nganterin Mbak Via tadi deh.”
            “Ooo, trus gimana ciri-cirinya?”
            “Orang itu kelihatan keren dengan baju  bergaris biru dan putih yang dikenakannya. Matanya indah dan tajam saat menatap Mbak Via tadi. Tajamnya bukan tajam seperti memusuhi atau semacam itu, Mbak Lita bisa tebak sendirikan maksudku?”
            Ini baru bagiku. Sejak dengan Rian tadi aku tak begitu memperhatikan. Mungkinkah kata-kata Anni benar? Dia kan melihat dari jarak jauh, jadi kesaksiannya tidak bisa dipastikan kebenarannya.
“Tajam dengan penuh perhatian dan kecemasan, itu kan maksudmu?”
            “Semacam itu...”
            Lolita menatapku penuh selidik. “Kira-kira siapa identitas cowo’ yang kelihatannya sempurna itu?” bisa dipastikan Lita sudah membuat keputusan akan status Rian tanpa kepastian yang jelas.
            “Terserah kalian lah? Yang pasti dia bukan siap-siapa?” aku menutup laptopku dan mulai bersiap tidur.
            “Ayolah Via, cerita dong? Sedikit saja,” bujuknya. “Minimal kasih tahu namanya ke gue. Gue nggak akan bilang siapa-siapa?”
            “Ini tidak seperti yang lo pikirin?”
            “Kalo dia nanti jadi siapa-siapa jangan lupa kasih tahu gue ya?”
            Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya. “Ann, kamu nggak mau tidur?”
            “Iya mbak, tapi aku mau nyelesain ini dulu, kalo udah selesai aku akan tidur.”
            “Mana mungkin selesai kalo kamu ngerjain pr sambil sms-an.”
            Anni tertawa karena komentarku. Aku pun mengambil selimut lalu bersiap tidur. Untug malam ini tidak sepi jadi aku bisa melupakan Farid untuk sejenak.
            “Ki, Kiki!!!” panggilku. Kian mencari-cari posisiku. “Eh, aku duluan ya Lit?” tanpa bertanya Lita langsung menganggik. Semua orang sudah terbiasa jika melihatku tiba-tiba meghilang. Ini seperti kebiasaanku yang tak bisa dicegah.
            “Eh lo Sof, gue kira siapa?” dia kembali melangkah. “Wajah lo kok kusut gitu, emang lo belom mandi ya?”
            “Enak aja lo ngomong. Wangi gini dibilang belom mandi.”
            “Abis, wajah lo kusut gitu. Gimana gue mau percaya kalo lo udah mandi?”
            “Asem lo,” ini lah yang aku butuhin. Kian dan semua ejekannya bisa mengalihkan pikiranku.
            Di tikungan menuju kelas aku melihat Rian dan Laila sedang bicara. Aku tak tahu apa yang dibicarakan yang pasti wajah Rian terlihat serius, sedangkan Laila sepertinya biasa saja. Masih santai dan menikmati kebersamaan mereka.
“Gimana kencannya tadi malem?” tanya Kian dengan nada bercanda. Kayaknya Kian menyadari kehadiran Rian tadi.
            “Kencang kepala lo peang.” Aku berhenti tepat di depan kelas. “Lo itu temen macam apa sih?” dia menatapku bingung. “Kok tega-teganya lo jebak gue dengan orang kaya’ dia. Lo sadar nggak sih, gue tuh tersiksa banget tadi malem.”
            “Tapi senengkan?”
            “seneng dari mana. Kesel iya.” Jawabku sewot.
            “Lo serius,” nada tak percaya menghiasi suaranya. Aku memberi tatapan garang padanya. “Separah itu?” tambahnya.
            Aku menggangguk.
            “Wow, baru kali ini gue denger ada cewe’ yang kesel setelah menghabiskan waktu dengan Rian,” nada takjub itu sepertisesuatu yang tidak bisa dielekkan jika membahas masalah ini. “Biasanya nih, cewe’-cewe’ pada berebut buat dapetin perhatian tuh orang. Emang dasar kurang peka atau apa sepertinya Rian nggak sadar akan semua itu.”
            “Rian nggak peka?”
            “Iya, buktinya satu kampus juga udah pada tahu, kalo Laila itu suka kan sama Rian,” aku mengangguk mengenai masalah ini. “Emang dasar Riannya aja. Kok bisa sih dia nyia-nyiain cewe’ secantik Laila? Bego’ banget tuh orang kalo sampe’ dia nggak nyadar perasaan Laila buat dia.”
            Mengingat Rian, berarti aku harus mengingat kejadian di depan kost semalem. Dari kejadian itu saja, sudah cukup membuktikan Rian itu orang yang paling peka dengan emosi orang di sekitarnya. Akku sendiri tidak bisa memungkiri, aku cukup terguncang karena perhatian yang diberikannya untukku. Mungkin gara-gara itu aku marah, aku sedang tidak ingin ada orang melihat kesedihanku. Kemudian Rian yang menurutku orang asing malah memperhatikan dengan seksama. Tidak cukup itu, dia juga menawarkan pertolongan untukku. Semua perhatiannya itulah yang semalam membuatku menjadi orang paling malang dan dia datang untuk memberi belas kasihan padaku.
“Woi!!!” teriak Kian disampingku. “Lo kok malah bengong?”
“Mungkin nggak kalo dia sadar?” kataku.
“Maksud lo?”
“Nggak, lupain aja!” aku mengibas tanganku di depan wajahnya.
“Nggak bisa, gue udah terlanjur penasaran nih, apa maksud ucapan lo tadi?” paksanya.
“Heran deh gue, lo kan cowo’ kok kepo banget ama urusan orang lain.”
“Lo baru tahu ye. Gue kan termasuk kepowers,” candanya.
“Pantes, dari tadi gue perhatiin lo kok usil banget sama gosip di kampus.” Aku melihat Rian berjalan ke arahku. Lebih tepatnya ke kelas. Aku pun berinisiatif buat pura-pura mengambil buku di tas. Sadar akan perubahanku Kian pun berbalik. Matanya memincing penuh curiga.
“Sofia, bisa bicara sebentar,” katanya.
“Sekarang?” tanyaku sambil bertukar pandang dengan Kian.
“Entar aja, setelah kelas usai aku tunggu kamu di depan. Bisa kan?”
Aku mulai menerka-nerka apa yang hendak dibicarakan Rian denganku. Sepertinya aku sudah tidak punya urusan lagi dengannya. Memang sejak awal aku tidak punya urusan dengannya kan.
Aku mengangguk pelan baru setelah itu Rian mau meninggalkan aku bersama Kian. Aku dan kian bertukar pandang setelah kepergian Rian.
“Lo bilang nggak terjadi apa-apa?” tuntutnya.
“Gue jujur kok. Nggak terjadi apa-apa semalem,” kataku cepat. “Gue berani sumpah.”
“Gue percaya sama lo,” dia menatap ke dalam kelas. “Mau ngomong apa ya kok sampe’ dia ngajak pas pulang dari kampus?”
“Mana gue tahu. Gue ndiri kaget pas dia nyamperin kita.”
“Nyamperin lo doang kali,” aku mau protes namun sudah keduluan Kian. “Buktinya dia nggak nyapa gue sama sekali. Mungkin dia nggak nyadar kali gue ada di samping lo.”
“Please deh, jangan lebay. Mungkin dia lagi males aja ngapa lo. Lo kan kandidat tersangka yang udah ngejebak dia sama gue,” pemikiran ini baru saja muncul di kepalaku.
“Emang semalem separah itu?”
Aku mengangguk. “Mungkin...” tambahku lirih. Mungkin baginya tadi malam aku hanya sebagai pengacau malamnya bersama Laila. Bisa jadi, dia mau ngomongin tentang ke jadian di perpustakaan lalu meminta aku bilang ke Laila, kalau perlu bersumpah di depan Laila kalau tidak terjadi apa-apa antara aku dan Rian. Mambah-mambahin masalah aja.
“Kira-kira entar dia mau ngomong apa sama lo?”
“Lihat entar aja deh,” tanyaku sambil berlalu.
“Ye, ni anak. Tadi minta nemenin sekarang gue malah ditinggal,” katanya sambil mengikutiku.
Aku duduk di kursi yang biasa aku tempati. Sementara Kian di sampingku, tanpa basa-basi dia membuka laptopnya dan mulai menulis status. Tingkah cowok yang satu ini memang ajaib. Kadang terlihat cool, kadang kalau keponya lagi umat ya kayak tadi, heboh abis.
Kalau lagi begini dia akan bercanda habis-habisan. Jika waktunya belajar, dia akan serius model ilmuan gitu. Pokoknya semua yang berhubungan dengannya itu heboh dan luchu tapi juga serius untuk waktu tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar