Selembar
saputangan
Bagian 2
Selama perjalanan keheningan tak bisa dihindarkan.
Seperti yang sudah-sudah aku hanya melangkah mengikuti kaki ini melangkah.
Tanpa perduli akan keadaan sekitar. Mungkin Rian akan menganggapku cewek aneh.
Tapi kali ini aku tidak perduli dengan presepsi orang lain. Apalagi orang asing
kaya Rian. Perdui banget pada pendapatnya. Yang terpenting sekarang aku mau
tenang dulu. Aku butuh ketenangan melebihi siapapun. Sepertinya Rian tahu itu.
Sejak awal dia memang tak berusaha mengajakku bicara
meski hanya sepatah kata. Dia sepertinya juga tergelam dalam dunianya sendiri.
Baguslah, dengan begitu semua terasa lebih ringan bagiku. Aku bisa memikirkan
Farid tanpa harus merasa segan dengan Rian.
“Kostmu masih jauh?” tanya Rian.
“Udah deket kok Rid,” jawabku sambil melamun. Langkah
Rian yang tiba-tiba terhenti membuatku ikut menghentikan langkahku.
Hanya firasatku atau memang tatapan Rian memang
berbahaya. Sebelum aku jatuh karena tatapan mata itu, aku mengalihkan mata
secepat yang aku bisa. Dia masih mengamatiku dengan teliti. “Siapa yang telah
melukaimu?” tanyanya dengan sangat lembut, sesuatu yang asing bagiku mendengar
orang asing ini memperlakukanku seakan-akan kami sudah mengenal dengan sangat
baik.
Aku masih diam. Tidak sepatah katapun keluar, aku tak
bisa menceritakan masalahku pada Rian. Dia orang asing dalam hidupku. Terlepas
dari dia juga teman sekelasku. Tetap saja dia bukan salah satu orang yang bisa
masuk daftar orang terdekat dalam hidupku.
“K-kamu bisa bilang sama aku. Aku mungkin tak bisa
melakukan banyak hal untuk membantu masalahmu,” dia lalu menatap tepat pada
mataku yang sudah berkaca-kaca mendengar ucapannya. “Apalagi berjanji masalahmu
akan terselesaikan. Tapi aku bisa menjadi pendengar yang baik dan aku jamin
kamu pasti akan merasa lebih baik saat kamu sudah menumpahkan semua isi
hatimu.”
Kali ini aku berhenti di tempat. Bagaimana bisa orang
asing ini mengatakan sesuatu yang membuat hatiku bergetar? Itu hanya kalimat
tapi perhatian dan keperdulian dalam kalimat itu membuatku merasa istimewa.
Sadarkah Rian, dia sudah menembus batas penghalangku. Dia
membuat semua usahaku untuk menahan emosiku sia-sia belaka. Mungkin tujuan
ucapannya baik, sayangnya untuk saat ini aku tidak membutuhkan kalimat seperti
itu. Saat ini aku tak membutuhkan belas kasih orang lain. Aku paling tak suka
dikasihani, seakan aku makhluk paling tak berdaya di dunia ini.
“Masalahku adalah urusanku,” ucapku sinis. “Jangan ikut
campur!” kataku sambil berlalu.
“Aku tak bermaksud unt...”
“Kostku di seberang jalan ini,” kataku dingin. “Trim’s
udah nganterin.” Aku pun meninggalkan dia tanpa berbalik sedikitpun.
Aku dapat membanyangkan
kebingungan yang menghiasi raut wajah Rian gara-gara ulahku yang aneh semalaman
ini. Biarkanlah, nanti dia juga baik sendiri. Penting sekarang aku istirahat
saja.
Aku mengganti pakaianku dengan baju tidur. Kaos panjang
yang tadi baru aku gunakan aku singkirkan. Anak-anak SMK udah pada heboh di
depan pintu saat aku kembali masuk kamar. Kunyalakan laptop untuk mulai
mengerjakan tugas kuliah.
Pada hari biasa aku yang bisa mengerjakan makalah dalam
waktu tiga jam selesai, kali ini aku mebutuhkan waktu tiga jam hanya untuk
mengerjakan bab 1, itu pun benum selesai. Dawat kalau ini terus berkelanjutan.
Aku harus cari ide agar aku bisa cepet-cepet move on. Mustahil untuk menghapus
rasa yang sudah ada sejak SD, itu sudah pasti.
“Mbak Via, cowok di depan tadi siapa?” tanya Anni dengan
penuh semangat. “Dia pacar Mbak Via ya? Keren juga Mbak,” tambahnya.
“Gue kira lo pacaran ama...?” sambung Lolita.
Lolita itu temen kostku, dia cantik, tinggi, langsing dan sopan. Kekurangan
fisiknya hanya kulitnya yang hitam. Dalam kost ini hanya Lolita anak kost perempuan
sekaligus temen sekelas Laila. Meskipun dia tak begitu suka jika namanya
disambung-sambungin dengan nama Laila. Katanya sih, meski sekelas mereka tidak
akan pernah jadi temen.
Sudah berkali-kali Lolita menegaskan hal ini tetap saja
dia belum mau menceritakan alasan dia ilfiil banget sama Laila. Padahal Laila
itu kan cewek baik, menurutku jika menilik lagi interaksi pertama ku dengannya
tadi. Selain baik dia juga cantik plus tenar. Ibarat kata nih, Laila seperti hadiah
undian yang dapatnya bonus yang besarnya tidak tanggung.
Seandainya Lolita tahu, tadi aku habis dari perpustakaan
bareng Laila, semeja pula, aku bisa disuruh mandi kembang tujuh rupa. Mending
diem saja lah. Kalaupun nantinya Lolita tahu dari orang lain dia juga tidak
bisa melakukan apa-apa lagi. Ini kan sudah terlanjur terjadi.
“Bukan salah satu di antara mereka berdua,” aku mengambil
pulpen di mejaku. “Tadi yang anni lihat itu temen sekelas gue. Sedangkan yang
lo kira pacar gue itu Lit, itu sahabat gue doang kok. Sahabat terbaik,
mengerti?”
Mereka
berdua bertukar pandang. “Memang siapa yang lo maksud Ann?” tanya Lita kurang
puas dengan jawabanku.
Anni menyila kakinya. Mencari posisi yang lebih nyaman
untuk duduk. “Aku nggak tahu Mbak nama cowo’ itu. Yang pasti ini pertama
kalinya aku lihat cowo’ itu.”
“Dan itu akan jadi yang terakhir,” Sahutku.
“Gue ragu,” balas Lita sebelum kembali berfokus pada
Anni. “Ann, cowo’ yang nganterin Mbak Via kaya’ gimana tampangnya?” tanya Lita
penuh semangat.
Anni meletakkan tangannya pada dagu dan mulai mutar ulang
ingatannya akan kejadian tadi. “Cowo’ itu tingginya rata-rata cowo’ pada
umumnya. Lalu ....”
“Lebih tinggi mana
dengan cowo’ yang biasanya datang ke sini?” sela Lita.
Anni berpikir lagi akan perbandingan tinggi kedua sosok
itu dalam kepalanya. “Hmmm, mungkin hampir sama,” lalu dia mulai mereka-reka
lagi. “Nggak deh, kaya’nya tinggian cowo’ yang nganterin Mbak Via tadi deh.”
“Ooo, trus gimana ciri-cirinya?”
“Orang itu kelihatan keren dengan baju bergaris biru dan putih yang dikenakannya.
Matanya indah dan tajam saat menatap Mbak Via tadi. Tajamnya bukan tajam
seperti memusuhi atau semacam itu, Mbak Lita bisa tebak sendirikan maksudku?”
Ini baru bagiku. Sejak dengan Rian tadi aku tak begitu
memperhatikan. Mungkinkah kata-kata Anni benar? Dia kan melihat dari jarak
jauh, jadi kesaksiannya tidak bisa dipastikan kebenarannya.
“Tajam dengan penuh perhatian dan kecemasan, itu kan maksudmu?”
“Semacam itu...”
Lolita menatapku penuh selidik. “Kira-kira siapa
identitas cowo’ yang kelihatannya sempurna itu?” bisa dipastikan Lita sudah
membuat keputusan akan status Rian tanpa kepastian yang jelas.
“Terserah kalian lah? Yang pasti dia bukan siap-siapa?”
aku menutup laptopku dan mulai bersiap tidur.
“Ayolah Via, cerita dong? Sedikit saja,” bujuknya.
“Minimal kasih tahu namanya ke gue. Gue nggak akan bilang siapa-siapa?”
“Ini tidak seperti yang lo pikirin?”
“Kalo dia nanti jadi siapa-siapa jangan lupa kasih tahu
gue ya?”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Ann, kamu nggak mau tidur?”
“Iya mbak, tapi aku mau nyelesain ini dulu, kalo udah
selesai aku akan tidur.”
“Mana mungkin selesai kalo kamu ngerjain pr sambil
sms-an.”
Anni tertawa karena
komentarku. Aku pun mengambil selimut lalu bersiap tidur. Untug malam ini tidak
sepi jadi aku bisa melupakan Farid untuk sejenak.
“Ki, Kiki!!!” panggilku. Kian mencari-cari posisiku. “Eh,
aku duluan ya Lit?” tanpa bertanya Lita langsung menganggik. Semua orang sudah
terbiasa jika melihatku tiba-tiba meghilang. Ini seperti kebiasaanku yang tak
bisa dicegah.
“Eh lo Sof, gue kira siapa?” dia kembali melangkah.
“Wajah lo kok kusut gitu, emang lo belom mandi ya?”
“Enak aja lo ngomong. Wangi gini dibilang belom mandi.”
“Abis, wajah lo kusut gitu. Gimana gue mau percaya kalo
lo udah mandi?”
“Asem lo,” ini lah yang aku butuhin. Kian dan semua
ejekannya bisa mengalihkan pikiranku.
Di tikungan menuju kelas aku melihat Rian dan Laila
sedang bicara. Aku tak tahu apa yang dibicarakan yang pasti wajah Rian terlihat
serius, sedangkan Laila sepertinya biasa saja. Masih santai dan menikmati
kebersamaan mereka.
“Gimana kencannya tadi malem?” tanya Kian dengan nada bercanda. Kayaknya
Kian menyadari kehadiran Rian tadi.
“Kencang kepala lo peang.” Aku berhenti tepat di depan
kelas. “Lo itu temen macam apa sih?” dia menatapku bingung. “Kok tega-teganya
lo jebak gue dengan orang kaya’ dia. Lo sadar nggak sih, gue tuh tersiksa
banget tadi malem.”
“Tapi senengkan?”
“seneng dari mana. Kesel iya.” Jawabku sewot.
“Lo serius,” nada tak percaya menghiasi suaranya. Aku
memberi tatapan garang padanya. “Separah itu?” tambahnya.
Aku menggangguk.
“Wow, baru kali ini gue denger ada cewe’ yang kesel
setelah menghabiskan waktu dengan Rian,” nada takjub itu sepertisesuatu yang
tidak bisa dielekkan jika membahas masalah ini. “Biasanya nih, cewe’-cewe’ pada
berebut buat dapetin perhatian tuh orang. Emang dasar kurang peka atau apa
sepertinya Rian nggak sadar akan semua itu.”
“Rian nggak peka?”
“Iya, buktinya satu kampus juga udah pada tahu, kalo
Laila itu suka kan sama Rian,” aku mengangguk mengenai masalah ini. “Emang
dasar Riannya aja. Kok bisa sih dia nyia-nyiain cewe’ secantik Laila? Bego’
banget tuh orang kalo sampe’ dia nggak nyadar perasaan Laila buat dia.”
Mengingat Rian, berarti aku harus mengingat kejadian di
depan kost semalem. Dari kejadian itu saja, sudah cukup membuktikan Rian itu
orang yang paling peka dengan emosi orang di sekitarnya. Akku sendiri tidak
bisa memungkiri, aku cukup terguncang karena perhatian yang diberikannya
untukku. Mungkin gara-gara itu aku marah, aku sedang tidak ingin ada orang
melihat kesedihanku. Kemudian Rian yang menurutku orang asing malah
memperhatikan dengan seksama. Tidak cukup itu, dia juga menawarkan pertolongan
untukku. Semua perhatiannya itulah yang semalam membuatku menjadi orang paling
malang dan dia datang untuk memberi belas kasihan padaku.
“Woi!!!” teriak Kian disampingku. “Lo kok malah bengong?”
“Mungkin nggak kalo dia sadar?” kataku.
“Maksud lo?”
“Nggak, lupain aja!” aku mengibas tanganku di depan wajahnya.
“Nggak bisa, gue udah terlanjur penasaran nih, apa maksud ucapan lo tadi?”
paksanya.
“Heran deh gue, lo kan cowo’ kok kepo banget ama urusan orang lain.”
“Lo baru tahu ye. Gue kan termasuk kepowers,” candanya.
“Pantes, dari tadi gue perhatiin lo kok usil banget sama gosip di kampus.”
Aku melihat Rian berjalan ke arahku. Lebih tepatnya ke kelas. Aku pun
berinisiatif buat pura-pura mengambil buku di tas. Sadar akan perubahanku Kian
pun berbalik. Matanya memincing penuh curiga.
“Sofia, bisa bicara sebentar,” katanya.
“Sekarang?” tanyaku sambil bertukar pandang dengan Kian.
“Entar aja, setelah kelas usai aku tunggu kamu di depan. Bisa kan?”
Aku mulai menerka-nerka apa yang hendak dibicarakan Rian denganku.
Sepertinya aku sudah tidak punya urusan lagi dengannya. Memang sejak awal aku
tidak punya urusan dengannya kan.
Aku mengangguk pelan baru setelah itu Rian mau meninggalkan aku bersama
Kian. Aku dan kian bertukar pandang setelah kepergian Rian.
“Lo bilang nggak terjadi apa-apa?” tuntutnya.
“Gue jujur kok. Nggak terjadi apa-apa semalem,” kataku cepat. “Gue berani
sumpah.”
“Gue percaya sama lo,” dia menatap ke dalam kelas. “Mau ngomong apa ya kok
sampe’ dia ngajak pas pulang dari kampus?”
“Mana gue tahu. Gue ndiri kaget pas dia nyamperin kita.”
“Nyamperin lo doang kali,” aku mau protes namun sudah keduluan Kian.
“Buktinya dia nggak nyapa gue sama sekali. Mungkin dia nggak nyadar kali gue
ada di samping lo.”
“Please deh, jangan lebay. Mungkin dia lagi males aja ngapa lo. Lo kan
kandidat tersangka yang udah ngejebak dia sama gue,” pemikiran ini baru saja
muncul di kepalaku.
“Emang semalem separah itu?”
Aku mengangguk. “Mungkin...” tambahku lirih. Mungkin baginya tadi malam aku
hanya sebagai pengacau malamnya bersama Laila. Bisa jadi, dia mau ngomongin
tentang ke jadian di perpustakaan lalu meminta aku bilang ke Laila, kalau perlu
bersumpah di depan Laila kalau tidak terjadi apa-apa antara aku dan Rian.
Mambah-mambahin masalah aja.
“Kira-kira entar dia mau ngomong apa sama lo?”
“Lihat entar aja deh,” tanyaku sambil berlalu.
“Ye, ni anak. Tadi minta nemenin sekarang gue malah ditinggal,” katanya sambil
mengikutiku.
Aku duduk di kursi yang biasa aku tempati. Sementara Kian di sampingku,
tanpa basa-basi dia membuka laptopnya dan mulai menulis status. Tingkah cowok
yang satu ini memang ajaib. Kadang terlihat cool, kadang kalau keponya lagi
umat ya kayak tadi, heboh abis.
Kalau lagi begini dia akan bercanda habis-habisan. Jika waktunya belajar,
dia akan serius model ilmuan gitu. Pokoknya semua yang berhubungan dengannya
itu heboh dan luchu tapi juga serius untuk waktu tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar